Menu Tutup

Mengutamakan Orang Lain

Kita sering mendengar pertanyaan, mengapa mesti menolong orang lain, padahal diri sendiri saja masih hidup susah? Mengapa kita mesti peduli terhadap nasib rakyat Palestina, Rohingya, atau Suriah padahal di negeri kita sendiri masih banyak rakyat yang kesusahan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak salah, sebab diri sendiri dan orang-orang dekat memiliki hak untuk diperhatikan. Salman al-Farisi pernah berkata dan dibenarkan oleh Nabi SAW, “…Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak kepada pemiliknya.” (HR Bukhari).

Keharusan memperhatikan diri sendiri dan orang dekat tidak berarti boleh melupakan hak-hak orang lain yang lebih jauh. Sebab, memperhatikan orang lain dengan cara berbagi kebaikan, termasuk akhlak terpuji dan merupakan salah satu ciri orang bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 177; Ali Imran [3]: 133-134).

Bahkan, dalam Alquran, terdapat model berbagi kepada orang lain yang sangat dipuji Allah SWT yang biasa disebut al-itsar, yakni sifat suka mengutamakan kepentingan orang lain, sekalipun dirinya membutuhkan. Mengenai sifat al-itsar ini digambarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam salah satu hadisnya.

Suatu ketika seorang sahabat Anshar kedatangan tamu seorang sahabat Muhajir. Ia sangat ingin menghormati tamunya tersebut. Namun, makanan yang ada sangat terbatas. Kemudian, ia bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk menjamu tamu?”

Istrinya menjawab, “Tidak ada, hanya makanan yang cukup untuk anak-anak kita.” Lalu, sahabat tersebut berkata, “Alihkan perhatian anak-anak kita dengan sesuatu, kalau mereka ingin makan malam, ajak mereka tidur. Dan apabila tamu kita masuk (ke ruang makan), padamkanlah lampu. Dan tunjukkan kepadanya bahwa kita sedang makan bersamanya. Mereka duduk bersama, tamu tersebut makan, sedangkan mereka tidur dalam keadaan menahan lapar.

Tatkala datang waktu pagi, pergilah mereka berdua (sahabat dan istrinya) menuju Rasulullah SAW. Lalu, Rasulullah SAW memberitakan (pujian Allah SWT terhadap mereka berdua), “Sungguh Allah merasa kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian.”

Kemudian, turunlah ayat yang memuji sahabat Anshar tersebut, “… dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-Hasyr: 9)

Konsep itsar lahir dari prinsip sesama Muslim dan Mukmin bersaudara. Mereka bagai satu  tubuh. Jika yang satu sakit dan yang lain akan merasakannya. Oleh karena itu, ketika seorang Muslim membebaskan kesulitan sesamanya, pada hakikatnya ia sedang membebaskan kesulitan dirinya.

Rasul SAW menggambarkan hubungan persaudaraan Muslim sejati dengan perumpamaan yang indah, “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam saling mencintai dan saling mengasihi bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan, sekujur badan akan merasakan panas dan demam.” (HR Muslim).

Jadi, mengutamakan kepentingan orang lain (itsar) merupakan puncak kebajikan dan bagian dari akhlak mulia. Dan perbuatan tersebut merupakan pengejawantahan persaudaraan Islam sejati. Mungkin bagi sebagian orang terlihat aneh, tetapi di sisi Allah SWT termasuk perbuatan sangat terpuji. Wallahu a’lam.

Penulis: Karyadi

Sumber: republika.co.id

Tinggalkan Balasan

Translate »
WhatsApp us