Menu Tutup

Membangun Kerajaan Hati Sebelum Membangun Kemewahan

“Tahukah kamu? Jika kamu seperti itu, itu tandanya kamu masih miskin. Miskin hati!”nasihat Haji Ismail pada Boby anaknya.

“Ayah dengar, kamu suka mengundur-undur gaji karyawan. Kamu juga sering ‘mempermainkan’ supplier. Empat bon dari supplier sudah numpuk, tapi kamu masih jawab nanti-nanti terus, atau Cuma bayar satu bon. Jangan mengambil keuntungan dari penderitaan orang. Itu tidak baik. Buat apa senang, sementara ada orang yang susah karena ulah kita?”

Cerita ini dengan beragam versinya, sangat mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita melihat banyak orang kaya tetapi tetap menipu dan terus mengejar kekayaannya. Kita juga sering melihat mereka yang berkedudukan tinggi, tetapi terus mengejar kedudukan yang lebih tinggi. Mereka ini, sebagaimana kita boleh jadi tidak pernah terpuaskan dahaganya. Mereka selalu merasa kurang dan kurang.

Teringat sebuah nasihat, “Bangun dulu kerajaan hati yang mantap sebelum membangun kemewahan.” Maksudnya, hilangkan sifat serakah, rasakan kebersyukuran terhadap apa yang ada dalam genggaman kita, selalu mencari kelebihan, bukan kekurangan. Sehingga “kita bisa berbuat banyak dengan apa yang kita miliki, bukan fokus terhadap apa yang tidak kita miliki. Hidup menjadi nikmat karena kita menikmati. Kita pun bisa melakukan semua yang diperintahkan Allah untuk berbagi dan peduli terhadap sesama.”

Kekayaan dan kesuksesan yang sebenarnya adalah ketenangan dan kebahagiaan, keamanan dan kesejahteraan. Para ulama mengatakan, kekayaan yang sebeanrnya adalah kedekatan dan kecintaan kita kepada-Nya. Jika kita sudah dekat dan cinta dengan Allah, harga dunia menjadi sangat kecil, tiada artinya.

Dikisahkan, Umar Bin Khattab pernah menginfakkan kebun kurma yang ia miliki gara-gara ketinggalan shalat ashar berjamaah. Ia menganggap kebun kurma dan kicauan burung yang ada di dalamnya telah menyita waktunya untuk shalat berjamaah. Beliau telah sampai pada tahap menghargai Allah lebih besar daripada menghargai dunia. Bahkan, bagi Umar nilai satu kali shalat berjamaah lebih besar daripada harga dunia, yang ketika itu digambarkan dengan luasnya kebun kurma.

Sekarang lihatlah kita, begitu mudahnya kita meninggalkan shalat berjamaah tepat waktu di masjid, bahkan meninggalkan shalat itu sendiri gara-gara urusan dunia. Kita tega membelakangi Allah bahkan bermaksiat dengan rezeki-Nya. Kita pun rela mengabaikan sisi kemanusiaan lengkap dengan kehormatan, kemuliaan, dan harga diri. Kita gadaikan itu semua demi kekayaan, demi dunia. Inilah sebagian dari wajah kita. Kita masih menghiasi pandangan kita dengan dunia

 

Sumber: yusuf mansur .com

Tinggalkan Balasan

Translate »
WhatsApp us